Senin, 22 November 2021

Bogor

Bogor yang sekarang jauh beda dengan Bogor yang saya kenal tahun 2006 sampai 2008. Bogor yang sekarang gak bisa lurus ke arah Sempur dari Baranang Siang. Padahal, di lampu merah Tugu Kujang, saya pernah ngedadak nge-rem dan pacar saya saat itu ngejengkang ke depan.

Dia ngegetok helm saya sambil bilang, “KAMU UDAH GILA?!”

-

Hujan di Bogor kemarin jauh beda dengan hujan yang saya alami di bulan November tahun 2008. Kemarin, saya menyentuh hujan sendirian. Rasanya dingin dan suhunya lembab. Beda dengan 13 tahun yang lalu, saya berciuman di bawah payung, di tengah guyuran hujan di Jalan Pesantren. Kami lirik kanan-kiri sambil memastikan tak ada siapapun yang melihat. Hujan saat itu rasanya hangat, sehangat ciumannya.

-

Bogor yang sekarang jelas jauh berbeda dengan Bogor yang dulu. Dulu, saya berpegangan tangan di sepanjang jalan Jendral Sudirman sampai Air Mancur. Saya dan dia bercerita soal kebodohan di sekolah dan menggosipkan guru agama kami. Kemarin, saya menelusuri jalan yang sama sambil menggendong anak. Menceritakan padanya bagaimana saya menjalani hidup di Bogor sebagai remaja yang baru mengenal cinta. 

Anak saya cuma bisa nunjuk mainan yang ia lihat di jalan tanpa menghiraukan cerita saya. It’s okay Dek, ayah cuma ingin cerita. Gak usah didengar dan gak usah ditanggapi. Ini cuma kenangan, yang gak akan keulang seberapapun nempel diingatan.

-

Di tengah-tengah ngegendong anak, sambil mengenang beberapa masa-masa percintaan itu, saya berbisik pada anak saya, “Dek, jangan bilang-bilang ke ibu ya, ibu suka marah kalau ayah ceritain mantan.”




Sabtu, 22 Agustus 2020

Orange

Waktu kuliah, saya pernah suka sama satu cewek, namanya Orange. Orange anak Humas angkatan 2009, saya anak Jurnalistik angkatan 2009.

Secara teknis, kami belum pernah bertemu sama sekali. Saya cuma sering lihat dia, tanpa dia melihat saya.

Wajah Orange adalah vitamin A terbaik buat mata saya. Wajahnya membuat mata saya berbinar dan sehat sentosa. Senyum Orange adalah simpul terindah yang memancarkan ketulusan. Matanya yang teduh membuat matahari mengurangi 50% hawa panasnya. Itulah gambaran saya soal paras Orange, wanita yang sekarang lagi berjalan ke arah saya.

Orange melangkah masuk di lorong di gedung 2 ini. Saya berada persis di tengah lorong. Saya bisa melihat Orange dari atas sampai bawah, ia menggunakan kaos merah maroon, dipadupadankan dengan jins warna biru muda yang sudah luntur menuju warna putih. Rambutnya diikat pigtail, membuat rambut panjangnya berayun saat dia berjalan ke arah saya. 

Di tangannya ada buku yang ia baca sambil melangkah. Saya lupa judul bukunya apa, tapi saya ingat dia hanya berjalan lurus sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu saya diam di depannya dan hampir tertabrak olehnya. Sampai akhirnya, *DUK* kepala Orange menyundul dada saya. Dia usap kepalanya sambil bilang, "sorry," tanpa melihat siapa yang dia tabrak. Orange berlalu, melintas begitu saja.

Itu adalah permintaan maaf paling indah yang pernah saya terima. Sudah 20 lebaran saya lewati, tapi itu jadi permintaan maaf yang paling saya ingat selama hidup saya. 

Dan by the way, itu jarak terdekat saya dengan Orange sejauh ini.

-

3 bulan berselang setelah kejadian "sundul gan!", saya masih suka sama Orange, dan saya masih jadi orang goblok yang gak berusaha apapun agar bisa di-notice sama orang yang saya sukai itu.

Tapi, ada satu kejadian di mana akhirnya Orange BICARA pada saya. Kejadian ini seperti mimpi yang jadi nyata, dreams will come true guys asalkan kalian bersabar.

So, let me tell you this, kejadian ini berawal ketika kami duduk di angkot yang sama, ketika kami hendak menuju kampus kami. Dan kami, hanya berdua di dalam angkot itu. BOOM!

Awalnya saya duduk sendiri di dalam angkot. Seperti biasa, saya duduk di dekat pintu masuk agar bisa mendapatkan fresh air. 
Di tengah-tengah penantian angkot (alias ngetem), seujung dahi memasuki pintu angkot. Diiringi rambut pigtail yang perlahan masuk, disusul dengan bahu, punggung, hingga semua tubuhnya masuk. Mahluk itu duduk, mengoper tasnya ke atas paha, dan ya, itu bidadariku. Orange.

Mata saya masih membelalak ke arah Orange. Saya gak nyangka Orange naik angkot, meski justru saya semakin kagum dengannya karena ternyata dia orang yang sangat membumi. Saya kira Orange adalah orang yang susah digapai, tapi kehadirannya di sini, membuat saya merasa bisa meraihnya.

Sang supir memajukan angkotnya. Saya rasa ini memang takdir, karena angkot tetap melaju meski penumpangnya hanya kami berdua.

Ini adalah rekor terbaru selama saya menjadi pemuja rahasianya Orange. Setelah peristiwa disundul, sekarang saya di angkot yang sama. Next apa lagi? Di pelaminan yang sama? "Kikikikkk" saya terkikik sendiri membayangkan itu, dan ternyata Orange melihatnya! OH SHIT!!!

Orange melihat ke arah saya dengan ekspresi keanehan. Dia kayaknya sudah mengira kalau saya orang gila. Yaaa walaupun dia gak salah sih. Saya emang gila karena dia.

Saya lihat ke depan. Kampus sudah sekitar 20 meter lagi. Saya sedih, di perhentian depan kita tidak akan satu angkot lagi. Kita memang akan sama-sama turun, tapi rasanya momen itu akan jadi perpisahan paling haru yang akan terjadi.

"Kiri-kiri mang!" kata Orange meminta angkot untuk berhenti. Saya ketuk-ketuk atap angkot sebagai pertanda bahwa saya juga turun di sini.

Saya persilahkan Orange untuk turun duluan. Orange turun dari angkot tapi tiba-tiba dia membalikkan badannya. Ada apa ini? Apa dia mau say goodbye sama saya? APA DIA MAU NGAJAK JALAN KE KAMPUS BARENG??? AH MASAAAAA!!!!!

Semenjak Orange memutar badannya, dunia terasa jadi slow motion. Orange yang turun dari angkot jadi kayak turun dari langit. Putaran tubuhnya membuat rambut pig tail-nya terkibas perlahan. Di sela-sela slow motion itu, Orange membuka mulutnya dan berkata, "Makasih, A. Ini ongkosnya."

*CLUK* uang gocengan mendarat di tangan saya. Orange pergi begitu saja.

TERNYATAAAA, semenjak Orange masuk ke angkot, semenjak dia mendudukkan tubuhnya di angkot, tak sedikitpun dia menganggap saya teman sekampusnya!!!! Saya hanya dikira kenek angkot yang gak sukses dapet penumpang, PLUS orang gila yang suka ketawa-ketawa sendiri.

Pertemuan saya dengan Orange memang selalu begitu. Abai. Tak pernah dianggap.

-

Kini sudah tahun 2019. Saya sudah kerja sebagai editor di sebuah website berita di Jakarta. Lalu Orange? Saya gak tahu lagi soal perkembangan dia.

Terakhir kali dianggap KENEK ANGKOT, saya kecewa. Kecewa pada diri sendiri. Capek jadi secret admirer. Capek nyimpen rahasia, capek bersembunyi.

Lebih kecewa lagi karena saya gak bisa apa-apa. Berharap dapat keajaiban pun percuma, mungkin selanjutnya saya cuma dianggap SUPIR ANGKOT walaupun itu kenaikan jabatan dari seorang kenek angkot.

*TRUUUUTTT* Handphone saya bunyi. Nama kontaknya Satria.
"Coy, ada temen gue yang mau nge-iklan nih di website lu!"
"Boleh Sat, kasih nomor gue aja. Ntar suruh dia telpon."
"Okay!"

Kerjaan sebagai editor di perusahaan ini, gak cuma potong-sambung tulisan. Nerima ajakan untuk kerja sama, juga jadi kerjaan saya. Maklum, tempat saya kerja pegawainya suka nyambi-nyambi. Ada penulis nyambi jadi editor video, ada marketing nyambi jadi tukang kopi di kantor, ada juga bos yang nyambi jadi karyawan. Hahaha. Saya jadi inget semasa kuliah dulu, saya adalah mahasiswa yang nyambi jadi kenek angkot.

*TRUUUUTTT* Handphone saya bunyi. Gak ada nama kontak di layar, hanya menunjukkan nomor yang gak pernah saya save, 0896****

Ah, ini dia temennya Satria.

"Halo, selamat siang," Sapa saya ke seberang telepon.
"Selamat siang Mas Adhie," Suara wanita melantun dari telepon itu.
"Iya, siang Mbak,"
"Halo Mas Adhie, Perkenalkan, nama saya Orange. Saya dari bagian......"

Saya gak inget dia ngomong apa selanjutnya. Saya tertegun, dada saya seperti terdorong ke belakang, dan bahu saya terangkat ke atas seiring tarikan napas. Saya teringat lagi wajah bidadari itu. Yang senyumannya seramah embun pagi. Saat ini, mungkin dia sedang tersenyum di seberang sana untuk saya. Kita berbicara di telpon, dan ini momen paling ajaib setelah 10 tahun berselang.

"Hai Orange, apa kabar? Saya Adhie, saya pemuja rahasia kamu. Saya disundul oleh kamu di dada, dan saya pernah mendapat uang lima ribu rupiah dari kamu. Saya masih suka sama kamu, Orange." itu yang ingin saya sampaikan padanya. Tapi tentu saya urungkan. Saya nikmati ajakan kerja samanya sambil membayangkan dia kaget mendengar cerita saya itu. Saya rindu kamu, Orange.
.
.
.
.

Telepon dari Orange membuat saya sadar, ternyata, apa yang saya kira berakhir, kemungkinan baru saja dimulai.